PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah melantik pejabat baru Panglima TNI, KSAD, dan KSAU, sebagai bagian dari regenerasi di tubuh angkatan bersenjata tersebut. Jenderal TNI Djoko Santioso mendapat amanah sebagai Panglima TNI menggantikan Djoko Suyanto yang memasuki masa purna tugas.
KSAD dipercayakan kepada Letjen TNI Agustadi Sasongko Purnomo menggantikan Jenderal Djoko Santoso, sedangkan KSAU dijabat Marsekal Madya Subandrio. Sebelumnya sempat tersiar kabar, posisi KSAD bakal diisi oleh saudara ipar SBY, Letjen Erwin Sudjono yang menjabat Kepala Staf Umum (Kasum) Mabes TNI.
Namun rumor itu ternyata tak benar karena Erwin Sudjono memasuki masa purna tugas. Ada juga nama lain yang disebut-sebut punya peluang besar menjadi KSAD yaitu Letjen Sjafrie Sjamsoedin, yang menjabat Sekjen Departemen Pertahanan (Depham). Namun, SBY ternyata lebih memilih Agustadi yang penah menjabat sebagai Pangdam Jaya.
Pergantian di jajaran pimpinan TNI tersebut menjadi perhatian karena kebetulan dilakukan menjelang persiapan pemilihan presiden 2009. Sorotan tersebut wajar saja karena posisi Panglima TNI dan para kepala staf punya pengaruh terhadap konfigurasi politik di negeri ini.
TNI memang melepaskan hak pilih dalam pemilu dan tidak boleh terlibat dalam dunia politik praktis. Secara formal, TNI berada di posisi netral, mengambil jarak yang sama dengan semua kekuatan politik, dalam posisinya sebagai penjaga kedaulatan negara.
Namun, TNI mempunyai keluarga besar, yaitu keluarga para prajurit dan purnawirawan. Mereka mempunyai hak pilih dan dipilih, termasuk berkecimpung dalam dunia politik praktis. Oleh karena itu, mereka juga penghasil suara bagi para calon anggota parlemen dan kandidat pasangan presiden-wapres.
Pada masa lalu, keluarga prajurit diarahkan untuk memilih kekuatan politik tertentu. Bahkan para petinggi TNI ada yang terang-terangan berpihak kepada organisasi sosial politik tertentu. Faktor sejarah dan kondisi politik menimbulkan situasi semacam itu.
Muncul kekhawatiran, fenomena yang pernah terjadi di masa lalu bakal muncul kembali. Mungkin saja di masa kini bentuk dukungan tidak terlalu mencolok seperti di masa lalu. Mobilisasi dukungan bisa dilakukan dengan cara sangat halus karena keluarga besar TNI merupakan lumbung suara potensial.
Pada pemilu 2004 lalu sempat terungkap ke permukaan mobilisasi yang dilakukan seorang perwira menengah Polri di Jawa Tengah untuk mendukung seorang kandidat presiden. Mobilisasi dikemas melalui acara silaturahmi dengan para purnawirawan dan keluarga anggota.
Begitu pula bisik-bisik berantai di beberapa kompleks perumahan anggota TNI untuk menggalang dukungan terhadap kandidat presiden tertentu. Fenomena seperti itu bisa dibilang hanya kasuistik semata, bukan sebuah prilaku umum. Namun, di masa mendatang perlu menjadi perhatian supaya tidak terjadi lagi karena bisa mencederai sikap netralitas TNI/Polri yang sudah menjadi kesepakatan bangsa ini.
Harus diakui, sejarah TNI/Polri di negeri ini berbeda dengan negara-negara lain. Ada kekhasan yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika merunut kembali sejarah perjalanan TNI/Polri sejak dilahirkan pada era kemerdekaan hingga era selanjutnya..
Lembaga yang diberi kepercayaan memegang senjata dan alat-alat perang itu di masa lalu memberikan kontribusi nyata pada politik kenegaraan. Oleh karena itu, TNI/Polri tidak dalam posisi seperti negara- negara demokrasi yang menganut supremasi sipil secara mutlak.
Memang, pada era reformasi, peran TNI/Polri dalam kebijakan politik menjadi sangat berkurang. Tidak ada lagi Fraksi TNI/Polri di DPR, begitu juga di MPR. Anggota TNI/Polri yang hendak terjun ke ranah politik dan pemerintahan harus mengundurkan diri lebih dulu.
Meski begitu siapapun yang memerintah di negeri ini, perlu mendapatkan dukungan penuh dari jajaran TNI/Polri. Hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan TNI/Polri merupakan sebuah kenicayaan, walau menurut UUD 45, presiden merupakan panglima tertinggi TNI.(*)