Memanfaatkan Isu Ekpor Pasir

HUBUNGAN pemerintah Indonesia-Singapura menegang, karena konflik soal pasir darat dan pasir laut. Pemerintah Indonesia sejak 5 Februari lalu menegaskan melarang ekspor pasir ke Negeri Singa tersebut, dengan lasan merusak lingkungan hidup.
Tentu saja Singapura kelimpungan karena pasir asal Indonesia sangat diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dan properti. Singapura membantah pasir dari Indonesia dipakai untuk kepentingan reklamasi alias menguruk laut menjadi daratan.
Ketegangan itu bahkan memicu munculnya wacana mengusir Duta Besar Singapura di Indonesiam Ashok Kumar Mirpuri dan menarik Dubers RI di Singapura. Ketua DPR Agung Laksono menyebut Singapura perlu diberi pelajaran karena menginginkan batas wilayah kedaulatannya dihitung dari daratan hasil reklamasi.
Singapura bersikukuh tidak mau membahas batas wilayah sebelum selesainya proyek reklamasi pantai. Proyek itu baru selesai pada 2030 mendatang. Proyek reklamasi tersebut telah menambah wilayah daratan Singapura sepanjang 12 km ke arah wilayah kedaulatan Indonesia.
Pada saat ini kedua negara bertetangga tersebut tengah duduk di meja perundingan mengenai penyusunan perjanjian ekstradisi. Pembahasan mengenai ekstradisi berlangsung alot karena Singapura menunjukkan keengganan untuk menyerahkan sejumlah warga negara Indonesia yang terjaring persoalan hukum kepada pemerintah RI.
Berbagai macam alasan disampaikan Singapura untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian perjanjian ekstradisi. Satu di antaranya alasan perbedaan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan Singapura. Selain itu, secara tersirat Singapura tidak mempercayai kredibilitas aparat penegak hukum di Indonesia.
Namun di balik aalasan formal itu, Singapura tidak ingin kehilangan keuntungan yang mereka peroleh dari sejumlah pengusaha asal Indonesia yang menyimpan uang dan mempunyai properti di negeri tersebut. Manakala perjanjian ekstradisi dengan Indonesia ditandatangani dan berlaku efektif, para pengusaha bermasalah asal Indonesia akan memilih negara lain sebagai ‘tempat parkir’ uang mereka dan tempat aman bersembunyi.
Masalah pasir memang dapat dipakai sebagai alat bargaining (tawar menawar) bagi pemerintah Indonesia. Namun, harus diingat bahwa Indonesia juga berkepentingan merangkul Singapura untuk menyelesaikan konsep Special Economic Zone (SEZ) di wilayah Batam, Bintan, dan Karimun.
Dalam memorandum of understanding yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri BG Lee di Batam tahun lalu, Singapura juga diminta bertindak sebagai marketer (pemasar) SEZ kepada para investor asing. Kalau kemudian ketegangan hubungan kedua negara tidak bisa diselesaikan dengan win-win solution, tidak tertutup kemungkinan Singapura justru menjadi  batu sandungan.
Singapura yang sudah telanjur dipersepsikan sebagai negara yang piawai mengelola bisnis dan perdagangan serta paling kooperatif terhadap investor asing bisa melakukan kampanye negatif  tersembunyi mengenai kondisi di Indonesia. Harus diakui, rekomendasi Singapura lebih dipercaya para investor asing.
Bisa saja kemudian para investor asing –termasuk investor asal Singapura–  yang sudah menanamkan modal di Indonesia memilih hengkang. Sebagai pengusaha mereka tidak ingin terimbas/terkena dampak buruk terkait ketegangan hubungan antara pemerintah Indonesia dan  Singapura.
Dampak buruk tersebut harus dipertimbangan pemerintah Indonesia. Memang, jati diri kita sebagai bangsa berdaulat harus tetap menjadi perhatian utama, namun pada saat ini kita juga masih memerlukan Singapura.
Di sinilah seni bernegosiasi dan mencari solusi sangat diperlukan. Kalau kita dapat memanfaatkan dengan baik, isu mengenai ekspor pasir ini dapat membawa keuntungan buat negeri ini.
Setidaknya pemerintah Indonesia dapat mengatur kembali mekanisme ekspor pasir, termasuk menentukan harga dan pajak yang harus masuk ke negera. Jangan sampai lingkungan alam kita rusak, namun tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari perdagangan pasir tersebut.(*)

Leave a comment